tag:blogger.com,1999:blog-63696605998015136472024-03-14T01:01:38.370-07:00Galih Gumelar CenterGalih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.comBlogger53125tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-86759062651174204292009-09-10T22:33:00.000-07:002009-09-10T22:36:11.512-07:00Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi Syariah<div id="detail_news_text" class="" style="font-family:arial;"> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 52/DSN-MUI/III/2006<br />Tentang AKAD WAKALAH BIL UJRAH<br />PADA ASURANSI DAN REASURANSI SYARIAH</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD WAKALAH BIL UJRAH PADA ASURANSI DAN REASURANSI SYARIAH<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum</strong><br />Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:</p> <ol><li>Asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah;</li><li>Peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syari’ah.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Hukum</strong></p> <ol><li>Wakalah bil Ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dengan peserta.</li><li>Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan pemberian <em>ujrah</em> (fee).</li><li>Wakalah bil Ujrah dapat diterapkan pada produk asuransi yang mengandung unsur tabungan (<em>saving</em>) maupun maupun unsur <em>tabarru'</em> (non-saving).</li></ol> <p><br />Ketiga : <strong>Ketentuan Akad</strong></p> <ol><li>Akad yang digunakan adalah akad Wakalah bil Ujrah.</li><li>Objek Wakalah bil Ujrah meliputi antara lain: <ol><li>kegiatan administrasi</li><li>pengelolaan dana</li><li>pembayaran klaim</li><li>underwriting</li><li>pengelolaan portofolio risiko</li><li>pemasaran</li><li>investasi</li></ol> </li><li>Dalam akad Wakalah bil Ujrah, harus disebutkan sekurang-kurangnya: <ol><li>hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;</li><li>besaran, cara dan waktu pemotongan ujrah fee atas premi;</li><li>syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.</li></ol> </li></ol> <p><br />Keempat : <strong>Kedudukan dan Ketentuan Para Pihak dalam Akad Wakalah bil Ujrah</strong></p> <ol><li>Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk mengelola dana</li><li>Peserta sebagai individu dalam produk saving bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa)</li><li>Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru’ bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana.</li><li>Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali atas izin muwakkil (pemegang polis);</li><li>Akad Wakalah adalah bersifat amanah (<em>yad amanah</em>) dan bukan tanggungan (<em>yad dhaman</em>) sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi fee yang telah diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.</li><li>Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi, karena akad yang digunakan adalah akad Wakalah.</li></ol> <p><br />Kelima : <strong>Investasi</strong></p> <ol><li>Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib menginvestasikan dana yang terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.</li><li>Dalam pengelolaan dana/investasi, baik dana <em>tabarru’</em> maupun <em>saving</em>, dapat digunakan akad Wakalah bil Ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti di atas, akad Mudharabah dengan mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah, atau akad Mudharabah Musytarakah dengan mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah Musytarakah.</li></ol> <p><br />Keenam : <strong>Ketentuan Penutup</strong></p> <ol><li>Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.</li><li>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</li></ol> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 23 Shafar 1427 / 23 Maret 2006</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-76992054735222923832009-09-10T22:32:00.000-07:002009-09-10T22:36:11.512-07:00Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 51/DSN-MUI/III/2006<br />Tentang AKAD MUDHARABAH MUSYTARAKAH<br />PADA ASURANSI SYARIAH</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD MUDHARABAH MUSYTARAKAH PADA ASURANSI SYARIAH<br /><br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum</strong></p> <ol>Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:</ol> <ol><li>asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah;</li><li>peserta adalah peserta asuransi atau perusahaan asuransi dalam reasuransi.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Hukum</strong></p> <ol><li>Mudharabah Musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi, karena merupakan bagian dari hukum Mudharabah.</li><li>Mudharabah Musytarakah dapat diterapkan pada produk asuransi syariah yang mengandung unsur tabungan (<em>saving</em>) maupun non tabungan.</li></ol> <p><br />Ketiga : <strong>Ketentuan Akad</strong></p> <ol><li>Akad yang digunakan adalah akad Mudharabah Musytarakah, yaitu perpaduan dari akad Mudharabah dan akad Musyarakah.</li><li>Perusahaan asuransi sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama dana peserta.</li><li>Modal atau dana perusahaan asuransi dan dana peserta diinvestasikan secara bersama-sama dalam portofolio.</li><li>Perusahaan asuransi sebagai mudharib mengelola investasi dana tersebut.</li><li>Dalam akad, harus disebutkan sekurang-kurangnya:<br /><ol><li>hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;</li><li>besaran nisbah, cara dan waktu pembagian hasil investasi;</li><li>syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan produk asuransi yang diakadkan.</li></ol> </li><li>Hasil investasi :<br />Pembagian hasil investasi dapat dilakukan dengan salah satu alternatif sebagai berikut:<br />Alternatif I :<br /><ol><li>Hasil investasi dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dengan peserta (sebagai shahibul mal) sesuai dengan nisbah yang disepakati.</li><li>Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan para peserta sesuai dengan porsi modal atau dana masing-masing.</li></ol> Alternatif II :<br /><ol><li>Hasil investasi dibagi secara proporsional antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan peserta berdasarkan porsi modal atau dana masing-masing.</li><li>Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dibagi antara perusahaan asuransi sebagai mudharib dengan peserta sesuai dengan nisbah yang disepakati.</li></ol> </li><li>Apabila terjadi kerugian maka perusahaan asuransi sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan.</li></ol> <p><br />Keempat : <strong>Kedudukan Para Pihak dalam Akad Mudharabah Musytarakah</strong></p> <ol><li>Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan sebagai musytarik (investor).</li><li>Peserta (pemegang polis) dalam produk saving, bertindak sebagai <em>shahibul mal</em> (investor).</li><li>Para peserta (pemegang polis) secara kolektif dalam produk non saving, bertindak sebagai <em>shahibul mal</em> (investor).</li></ol> <p><br />Kelima : <strong>Investasi</strong></p> <ol><li>Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.</li><li>Investasi wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.</li></ol> <p><br />Keenam : <strong>Ketentuan Penutup</strong></p> <ol><li>Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.</li><li>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</li></ol> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 23 Shafar 1427 / 23 Maret 2006</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-84267981430244339232009-09-10T22:30:00.001-07:002009-09-10T22:36:11.512-07:00Akad Mudharabah Musytarakah<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 50/DSN-MUI/III/2006<br />Tentang AKAD MUDHARABAH MUSYTARAKAH</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD MUDHARABAH MUSYTARAKAH<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum</strong></p> <ol> Mudharabah Musytarakah adalah bentuk akad Mudharabah di mana pengelola (<em>mudharib</em>) menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi. </ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Hukum</strong></p> <ol> Mudharabah Musytarakah boleh dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS), karena merupakan bagian dari hukum Mudharabah. </ol> <p><br />Ketiga : <strong>Ketentuan Akad</strong></p> <ol><li>Akad yang digunakan adalah akad Mudharabah Musytarakah, yaitu perpaduan dari akad Mudharabah dan akad Musyarakah.</li><li>LKS sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama nasabah.</li><li>LKS sebagai pihak yang menyertakan dananya (<em>musytarik</em>) memperoleh bagian keuntungan berdasarkan porsi modal atau yang disertakan.</li><li>Bagian keuntungan sesudah diambil oleh LKS sebagai musytarik dibagi antara LKS sebagai mudharib dengan nasabah dana sesuai dengan nisbah yang disepakati.</li><li>Apabila terjadi kerugian maka LKS sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan.</li></ol> <p><br />Keempat : <strong>Ketentuan Penutup</strong></p> <ol><li>Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.</li><li>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</li></ol> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 23 Shafar 1427 / 23 Maret 2006</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-89147331302620864992009-09-10T22:29:00.002-07:002009-09-10T22:36:11.512-07:00Konversi Akad Murabahah<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 49/DSN-MUI/II/2005<br />Tentang KONVERSI AKAD MURABAHAH</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG KONVERSI AKAD MURABAHAH<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Konversi Akad</strong><br />LKS boleh melakukan konversi dengan membuat akad (membuat akad baru) bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, tetapi ia masih prospektif dengan ketentuan:</p> <ol type="a"><li>Akad murabahah dihentikan dengan cara:<br /><ol type="i"><li>obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar;</li><li>Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan;</li><li>Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka kelebihan itu dapat dijadikan uang muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari mudharabah dan musyarakah;</li><li>Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dan nasabah.</li></ol> </li><li>LKS dan nasabah eks-murabahah tersebut dapat membuat akad baru dengan akad: <ol type="i"><li>Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik atas barang tersebut diatas dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 Tentang Al Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik;</li><li>Mudharabah dengan merujuk kepada fatwa DSN No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh); atau</li><li>Musyarakah dengan merujuk kepada fatwa DSN no.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah</li></ol> </li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Penutup</strong></p> <ol><li>Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.</li><li>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</li></ol> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 16 Muharram 1426 H / 25 Februari 2005 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-55521110195453026472009-09-10T22:29:00.001-07:002009-09-10T22:36:11.512-07:00Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 48/DSN-MUI/II/2005<br />Tentang PENJADWALAN KEMBALI TAGIHAN MURABAHAH</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG PENJADWALAN KEMBALI TAGIHAN MURABAHAH<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Penyelesaian</strong><br />LKS boleh melakukan penjadwalan kembali (rescheduling) tagihan murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:</p> <ol type="a"><li>Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa;</li><li>Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil;</li><li>Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Penutup</strong></p> <ol><li>Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.</li><li>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</li></ol> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 16 Muharram 1426 H / 25 Februari 2005 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-51414214984597599822009-09-10T22:28:00.003-07:002009-09-10T22:36:11.512-07:00Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah tak Mampu Bayar<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong> FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 48/DSN-MUI/II/2005<br />Tentang PENJADWALAN KEMBALI TAGIHAN MURABAHAH</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG PENJADWALAN KEMBALI TAGIHAN MURABAHAH<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Penyelesaian</strong><br />LKS boleh melakukan penjadwalan kembali (rescheduling) tagihan murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:</p> <ol type="a"><li>Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa;</li><li>Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil;</li><li>Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Penutup</strong></p> <ol><li>Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.</li><li>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</li></ol> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 16 Muharram 1426 H / 25 Februari 2005 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-66548227773386087362009-09-10T22:28:00.001-07:002009-09-10T22:36:11.513-07:00Potongan Tagihan Murabahah<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p style="text-align: center;"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 46/DSN-MUI/II/2005<br />Tentang POTONGAN TAGIHAN MURABAHAH<br /> (Khashm Al-Murabahah)</strong></span> </p> <p> </p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG POTONGAN TAGIHAN MURABAHAH<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Pemberian Potongan</strong></p> <ol><li>LKS boleh memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran kepada nasabah dalam transaksi (akad) murabahah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu dan nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran.</li><li>Besar potongan sebagaimana dimaksud di atas diserahkan pada kebijakan LKS.</li><li>Pemberian potongan tidak boleh diperjanjikan dalam akad.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Penutup</strong></p> <ol><li>Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.</li><li>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</li></ol> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 08 Muharram 1426 H / 17 Februari 2005 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-9868448423750058282009-09-10T22:27:00.001-07:002009-09-10T22:36:11.513-07:00Line Facility<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><strong><span style="color: rgb(51, 153, 102);">FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 45/DSN-MUI/II/2005<br />Tentang LINE FACILITY (At-Tashilat)</span></strong></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG LINE FACILITY<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum</strong><br />Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:</p> <ol><li>Line Facility adalah suatu bentuk fasilitas plafon pembiayaan bergulir dalam jangka waktu tertentu yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah.</li><li>Wa’d (الوعد) adalah kesepakatan atau janji dari satu pihak (LKS) kepada pihak lain (nasabah) untuk melaksanakan sesuatu yang dituangkan ke dalam suatu dokumen Memorandum of Understanding.</li><li>Wa’d yang telah disepakati tidak boleh disalahgunakan untuk pembiayaan di luar kesepakatan.</li><li>Akad adalah transaksi atau perjanjian syar’i yang menimbulkan hak dan kewajiban serta merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Line Facility.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Akad</strong></p> <ol><li>Line facility boleh dilakukan berdasarkan wa’d dan dapat digunakan untuk pembiayaan-pembiayaan tertentu sesuai prinsip syariah.</li><li>Akad yang digunakan dalam pembiayaan tersebut di atas dapat berbentuk akad Murabahah, Istishna’, Mudharabah, Musyarakah dan Ijarah.</li><li>Penetapan margin, nisbah bagi hasil dan/atau fee yang diminta oleh LKS harus mengacu kepada ketentuan-ketentuan masing-masing akad dan ditetapkan pada saat akad tersebut dibuat.</li><li>LKS hanya boleh mengambil margin, bagi hasil dan/atau fee atas akad-akad yang direalisasikan dari Line Facility.</li><li>Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN nomor: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’, Fatwa DSN nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), Fatwa DSN nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, Fatwa DSN nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah berlaku pula dalam pelaksanaan akad-akad Pembiayaan yang mengikuti Line Facility.</li></ol> <p><br />Ketiga : <strong>Ketentuan Penutup</strong></p> <ol><li>Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.</li><li>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</li></ol> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 08 Muharram 1426 H / 21 Februari 2005 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-77788280346453013822009-09-10T21:49:00.001-07:002009-09-10T22:27:00.742-07:00Pembiayaan Multijasa<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 44/DSN-MUI/VIII/2004<br />Tentang PEMBIAYAAN MULTIJASA</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MULTIJASA<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum</strong></p> <ol><li>Pembiayaan Multijasa hukumnya boleh (<em>jaiz</em>) dengan menggunakan akad Ijarah atau Kafalah.</li><li>Dalam hal LKS menggunakan akad ijarah, maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam Fatwa Ijarah.</li><li>Dalam hal LKS menggunakan akad Kafalah, maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam Fatwa Kafalah.</li><li>Dalam kedua pembiayaan multijasa tersebut, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (<em>ujrah</em>) atau fee.</li><li>Besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Penyelesaian Perselisihan</strong></p> <ol> Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. </ol> <p><br />Ketiga : <strong>Ketentuan Penutup</strong></p> <ol> Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan, jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. </ol> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 24 Jumadil Akhir 1425 H / 11 Agustus 2004 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-725047219332472372009-09-10T21:48:00.003-07:002009-09-10T22:27:00.742-07:00Ganti Rugi<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 43/DSN-MUI/VIII/2004<br />Tentang GANTI RUGI (TA’WIDH)</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG GANTI RUGI (TA’WIDH)<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum</strong></p> <ol><li>Ganti rugi (<em>ta`widh</em>) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.</li><li>Kerugian yang dapat dikenakan <em>ta’widh</em> sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.</li><li>Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg seharusnya dibayarkan.</li><li>Besar ganti rugi (<em>ta`widh</em>) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (<em>real loss</em>) yang pasti dialami (<em>fixed cost</em>) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (<em>potential loss</em>) karena adanya peluang yang hilang (<em>opportunity loss</em> atau <em>al-furshah al-dha-i’ah</em>).</li><li>Ganti rugi (<em>ta`widh</em>) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (<em>dain</em>), seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah.</li><li>Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh <em>shahibul mal</em> atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Khusus</strong></p> <ol><li>Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.</li><li>Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.</li><li>Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.</li><li>Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.</li></ol> <p><br />Ketiga : <strong>Penyelesaian Perselisihan</strong></p> <ol> Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. </ol> <p><br />Keempat : <strong>Ketentuan Penutup</strong></p> <ol> Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan, jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. </ol> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 24 Jumadil Akhir 1425 H / 11 Agustus 2004 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-81021401550962318772009-09-10T21:48:00.001-07:002009-09-10T22:27:00.742-07:00Syariah Charge Card<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 42/DSN-MUI/V/2004<br />Tentang SYARIAH CHARGE CARD</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG SYARIAH CHARGE CARD<br /><br />Pertama :<strong> Hukum</strong></p> <ol>Penggunaan charge card secara syariah dibolehkan, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:</ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Umum</strong></p> <ol> Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:</ol> <ol><li>Syariah Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang kartu (<em>hamil al-bithaqah</em>) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat-tempat tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (<em>mushdir al-bithaqah</em>) pada waktu yang telah ditetapkan.</li><li>Membership Fee (<em>rusum al-’udhwiyah</em>) adalah iuran keanggotaan, termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin menggunakan fasilitas kartu;</li><li>Merchant Fee adalah fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (<em>ujrah samsarah</em>), pemasaran (<em>taswiq</em>) dan penagihan (<em>tahsil al-dayn</em>);</li><li>Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai (<em>rusum sahb al-nuqud</em>).</li><li>Denda keterlambatan (<em>Late Charge</em>) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran yang akan diakui sebagai dana sosial.</li><li>Denda karena melampaui pagu (<em>Overlimit Charge</em>) adalah denda yang dikenakan karena melampaui pagu yang diberikan (<em>overlimit charge</em>) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.</li></ol> <p><br />Ketiga : <strong>Ketentuan Akad</strong></p> <ol>Akad yang dapat digunakan untuk Syariah Charge Card adalah:</ol> <ol><li>Untuk transaksi pemegang kartu (<em>hamil al-bithaqah</em>) melalui merchant (<em>qabil al-bithaqah</em>/penerima kartu), akad yang digunakan adalah akad Kafalah wal Ijarah.</li><li>Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad al-Qardh wal Ijarah.</li></ol> <p><br />Keempat :</p> <ol><li>Ketentuan dan batasan (<em>dhawabith wa hudud</em>) Syariah Charge Card : <ol><li>Tidak boleh menimbulkan riba.</li><li>Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.</li><li>Tidak mendorong <em>israf</em> (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara menetapkan pagu.</li><li>Tidak mengakibatkan hutang yang tidak pernah lunas (<em>ghalabah al-dayn</em>).</li><li>Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.</li></ol> </li><li>Ketentuan fee: <ol><li>Iuran keanggotaan (membership fee)</li><br />Penerbit kartu boleh menerima iuran keanggotaan (<em>rusum al-’udhwiyah</em>) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin penggunaan fasilitas kartu. <li>Ujrah (merchant fee)<br />Penerbit kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (<em>ujrah samsarah</em>), pemasaran (<em>taswiq</em>) dan penagihan (<em>tahsil al-dayn</em>).</li><li>Fee penarikan uang tunai<br />Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (<em>rusum sahb al-nuqud</em>) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.</li></ol> </li></ol> <p><br />Kelima : <strong>Ketentuan denda</strong></p> <ol><li>Denda keterlambatan (<em>late charge</em>)</li><br />Penerbit kartu boleh mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang akan diakui sebagai dana sosial. <li>Denda karena melampaui pagu (<em>overlimit charge</em>)<br />Penerbit kartu boleh mengenakan denda karena pemegang kartu melampaui pagu yang diberikan (<em>overlimit charge</em>) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.</li></ol> <p><br />Keenam : <strong>Ketentuan penutup</strong></p> <ol><li>Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.</li><li>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</li></ol> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 07 Rabi’ul Akhir 1425 H / 27 Mei 2004 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-72677746164829645662009-09-10T21:47:00.001-07:002009-09-10T22:27:00.743-07:00Obligasi Syariah Ijarah<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 41/DSN-MUI/III/2004<br />Tentang OBLIGASI SYARIAH IJARAH</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH IJARAH<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum</strong></p> <ol><li>Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/marjin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.</li><li>Obligasi Syariah Ijarah adalah Obligasi Syariah berdasarkan akad Ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.</li><li>Pemegang Obligasi Syariah Ijarah (OSI) dapat bertindak sebagai Musta’jir (penyewa) dan dapat pula bertindak sebagai Mu’jir (pemberi sewa).</li><li>Emiten dalam kedudukannya sebagai wakil Pemegang OSI dapat menyewa ataupun menyewakan kepada pihak lain dan dapat pula bertindak sebagai penyewa.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Khusus</strong></p> <ol><li>Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Ijarah adalah Ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, terutama mengenai rukun dan syarat akad.</li><li>Obyek Ijarah harus berupa manfaat yang dibolehkan.</li><li>Jenis usaha yang dilakukan Emiten tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana Syariah dan nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.</li><li>Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI baik untuk asset yang telah ada maupun asset yang akan diadakan untuk disewakan.</li><li>Pemegang OSI sebagai pemilik aset (<em>a’yan</em>) atau manfaat (<em>manafi’</em>) dalam menyewakan (<em>ijarah</em>) asset atau manfaat yang menjadi haknya kepada pihak lain dilakukan melalui Emiten sebagai wakil.</li><li>Emiten yang bertindak sebagai wakil dari Pemegang OSI dapat menyewa untuk dirinya sendiri atau menyewakan kepada pihak lain.</li><li>Dalam hal Emiten bertindak sebagai penyewa untuk dirinya sendiri, maka Emiten wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai imbalan (<em>‘iwadh ma’lum</em>) sebagaimana jika penyewaan dilakukan kepada pihak lain.</li><li>Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi Obligasi Syariah Ijarah dimulai.</li><li>Kepemilikan Obligasi Syariah Ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.</li></ol> <p><br />Ketiga : <strong>Penyelesaian Perselisihan</strong><br />Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.<br /><br /><br />Keempat : <strong>Ketentuan Penutup</strong><br />Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.<br /><br />Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 4 Maret 2004 M / 12 Muharram 1425 H</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-6236967059200839762009-09-10T21:46:00.002-07:002009-09-10T22:27:00.743-07:00Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong> FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 40/DSN-MUI/X/2003<br />Tentang PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM<br />PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL</p> <div><strong>BAB I</strong><br /><strong>KETENTUAN UMUM</strong><br /><strong>Pasal 1</strong></div> <p><br />Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan :</p> <ol><li>Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.</li><li>Emiten adalah Pihak yang melakukan Penawaran Umum.</li><li>Efek Syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah.</li><li>Shariah Compliance Officer (SCO) adalah Pihak atau pejabat dari suatu perusahaan atau lembaga yang telah mendapat sertifikasi dari DSN-MUI dalam pemahaman mengenai Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.</li><li>Pernyataan Kesesuaian Syariah adalah pernyataan tertulis yang dikeluarkan oleh DSN-MUI terhadap suatu Efek Syariah bahwa Efek tersebut sudah sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah.</li><li>Prinsip-prinsip Syariah adalah prinsip-prinsip yang didasarkan atas ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI, baik ditetapkan dalam fatwa ini maupun dalam fatwa terkait lainnya.</li><br /></ol> <div><strong>BAB II</strong><br /><strong>PRINSIP-PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL</strong><br /><strong>Pasal 2</strong><br /><strong>Pasar Modal</strong></div> <ol><li>Pasar Modal beserta seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis Efek yang diperdagangkan dan mekanisme perdagangannya dipandang telah sesuai dengan Syariah apabila telah memenuhi Prinsip-prinsip Syariah.</li><li>Suatu Efek dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip syariah apabila telah memperoleh Pernyataan Kesesuaian Syariah.</li><br /></ol> <div><strong>BAB III</strong><br /><strong>EMITEN YANG MENERBITKAN EFEK SYARIAH</strong><br /><strong>Pasal 3</strong><br /><strong>Kriteria Emiten atau Perusahaan Publik</strong></div> <ol><li>Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah tidak boleh bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah.</li><li>Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 1 di atas, antara lain:<br /><ol><li>perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;</li><li>lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;</li><li>produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram; dan</li><li>produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.</li><li>melakukan investasi pada Emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya;</li></ol> </li><li>Emiten atau Perusahaan Publik yang bermaksud menerbitkan Efek Syariah wajib untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas Efek Syariah yang dikeluarkan.</li><li>Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah dan memiliki Shariah Compliance Officer.</li><li>Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah sewaktu-waktu tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas, maka Efek yang diterbitkan dengan sendirinya sudah bukan sebagai Efek Syariah.</li><br /></ol> <div><strong>BAB IV</strong><br /><strong>KRITERIA DAN JENIS EFEK SYARIAH</strong><br /><strong>Pasal 4</strong><br /><strong>Jenis Efek Syariah</strong></div> <ol><li>Efek Syariah mencakup Saham Syariah, Obligasi Syariah, Reksa Dana Syariah, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah.</li><li>Saham Syariah adalah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria sebagaimana tercantum dalam pasal 3, dan tidak termasuk saham yang memiliki hak-hak istimewa.</li><li>Obligasi Syariah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.</li><li>Reksa Dana Syariah adalah Reksa Dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahib al-mal/rabb al-mal) dengan Manajer Investasi, begitu pula pengelolaan dana investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara Manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi.</li><li>Efek Beragun Aset Syariah adalah Efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA Syariah yang portofolio-nya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, Efek bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan setara, yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah.</li><li>Surat berharga komersial Syariah adalah surat pengakuan atas suatu pembiayaan dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan Prinsip-prinsip syariah.</li><br /></ol> <div><strong>BAB V</strong><br /><strong>TRANSAKSI EFEK</strong><br /><strong>Pasal 5</strong><br /><strong>Transaksi yang Dilarang</strong></div> <ol><li>Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman.</li><li>Transaksi yang mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman sebagaimana dimaksud ayat 1 di atas meliputi:<br /><ol><li>Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu;</li><li>Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (Efek Syariah) yang belum dimiliki (short selling);</li><li>Insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang;</li><li>Menimbulkan informasi yang menyesatkan;</li><li>Margin trading, yaitu melakukan transaksi atas Efek Syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian Efek Syariah tersebut; dan</li><li>Ihtikar (penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu Efek Syariah untuk menyebabkan perubahan harga Efek Syariah, dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain;</li><li>Dan transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur-unsur diatas.</li></ol> </li><br /></ol> <div><strong>Pasal 6</strong><br /><strong>Harga Pasar Wajar</strong></div> <ol><p>Harga pasar dari Efek Syariah harus mencerminkan nilai valuasi kondisi yang sesungguhnya dari aset yang menjadi dasar penerbitan Efek tersebut dan/atau sesuai dengan mekanisme pasar yang teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa.</p></ol> <p><strong><br /></strong></p> <div><strong>BAB VI</strong><br /><strong>PELAPORAN DAN KETERBUKAAN INFORMASI</strong><br /><strong>Pasal 7</strong></div> <ol> Dalam hal DSN-MUI memandang perlu untuk mendapatkan informasi, maka DSN-MUI berhak memperoleh informasi dari Bapepam dan Pihak lain dalam rangka penerapan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. </ol> <p><strong><br /></strong></p> <div><strong> BAB VII</strong><br /><strong> KETENTUAN PENUTUP</strong><br /><strong> Pasal 8</strong></div> <ol><li>Prinsip-prinsip Syariah mengenai Pasar Modal dan seluruh mekanisme kegiatan terkait di dalamnya yang belum diatur dalam fatwa ini akan ditetapkan lebih lanjut dalam fatwa atau keputusan DSN-MUI.</li><li>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</li></ol> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 08 Sya’ban 1424 H / 04 Oktober 2003 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-79634903681359587132009-09-10T21:46:00.001-07:002009-09-10T22:27:00.743-07:00Asuransi Haji<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 39/DSN-MUI/X/2002<br />Tentang ASURANSI HAJI</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG ASURANSI HAJI<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum</strong></p> <ol><li>Asuransi Haji yang tidak dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang menggunakan sistem konvensional.</li><li>Asuransi Haji yang dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.</li><li>Asuransi Haji yang berdasarkan prinsip syariah bersifat <em>ta’awuni</em>(tolong menolong) antar sesama jama’ah haji.</li><li>Akad asuransi haji adalah akad <em>Tabarru’</em> (hibah) yang bertujuan untuk menolong sesama jama’ah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jama’ah haji sebagai pemberi <em>tabarru’</em> dengan Asuransi Syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Khusus</strong></p> <ol><li>Menteri Agama bertindak sebagai pemegang polis induk dari seluruh jama’ah haji dan bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.</li><li>Jama’ah haji berkewajiban membayar premi sebagai dana <em>tabarru’</em> yang merupakan bagian dari komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).</li><li>Premi asuransi haji yang diterima oleh asuransi syariah harus dipisahkan dari premi-premi asuransi lainnya.</li><li>Asuransi syariah dapat menginvestasikan dana <em>tabarru’</em> sesuai dengan Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syar’iah, dan hasil investasi ditambahkan ke dalam dana <em>tabarru’</em>.</li><li>Asuransi Syariah berhak memperoleh <em>ujrah</em> (fee) atas pengelolaan dana <em>tabarru’</em> yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar.</li><li>Asuransi Syariah berkewajiban membayar klaim kepada jama’ah haji sebagai peserta asuransi berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.</li><li>Surplus Operasional adalah hak jama’ah haji yang pengelolaannya diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang polis induk untuk kemaslahatan umat.</li></ol> <p><br />Ketiga : <strong>Penyelesaian Perselisihan</strong><br />Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah yang berkedudukan di Indonesia setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.<br /><br /><br />Keempat : <strong>Penutup</strong><br />Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan akan diperbaiki sebagaimana mestinya.</p> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 23 Oktober 2002 M / 16 Sya’ban 1423 H</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-55354041807553262352009-09-10T21:45:00.002-07:002009-09-10T22:27:00.743-07:00Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 38/DSN-MUI/X/2002<br />Tentang SERTIFIKAT INVESTASI MUDHARABAH ANTARBANK (IMA)</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG SERTIFIKAT INVESTASI MUDHARABAH ANTARBANK (IMA)<br /><br />Pertama :<strong>Ketentuan Umum</strong></p> <ol><li>Sertifikat investasi antarbank yang berdasarkan bunga, tidak dibenarkan menurut syariah.</li><li>Sertifikat investasi yang berdasarkan pada akad Mudharabah, yang disebut dengan Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA), dibenarkan menurut syariah.</li><li>Sertifikat IMA dapat dipindahtangankan hanya satu kali setelah dibeli pertama kali.</li><li>Pelaku transaksi Sertifikat IMA adalah:<br /><ol type="a"><li>bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana.</li><li>bank konvensional hanya sebagai pemilik dana.</li></ol> </li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Khusus</strong><br />Implementasi dari fatwa ini secara rinci diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah pada bank syariah dan oleh Bank Indonesia.<br /><br /><br />Ketiga : <strong>Penyelesaian Perselisihan</strong><br />Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah yang berkedudukan di Indonesia setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.<br /><br /><br />Keempat : <strong>Penutup</strong><br />Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</p> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 23 Oktober 2002 M / 16 Sya’ban 1423 H</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-3971915000800953742009-09-10T21:45:00.001-07:002009-09-10T22:27:00.743-07:00Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah<div style="font-family: arial;font-family:arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 37/DSN-MUI/X/2002<br />Tentang PASAR UANG ANTARBANK<br />BERDASARKAN PRINSIP SYARI’AH</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARI’AH<br /><br />Pertama :<strong> Ketentuan Umum</strong></p> <ol><li>Pasar uang antarbank yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu pasar uang antarbank yang berdasarkan bunga.</li><li>Pasar uang antarbank yang dibenarkan menurut syariah yaitu pasar uang antarbank yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.</li><li>Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarpeserta pasar berdasarkan prinsip-prinsip syariah.</li><li>Peserta pasar uang sebagaimana tersebut dalam butir 3, adalah:<br /><ol type="a"><li>bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana</li><li>bank konvensional hanya sebagai pemilik dana</li></ol> </li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Khusus</strong></p> <ol><li>Akad yang dapat digunakan dalam Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah adalah:<br /><ol type="a"><li>Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh</li><li>Musyarakah</li><li>Qardh</li><li>Wadi’ah</li><li>Al-Sharf</li></ol> </li><li>Pemindahan kepemilikan instrumen pasar uang sebagaimana tersebut dalam butir 1. menggunakan akad-akad syariah yang digunakan dan hanya boleh dipindahtangankan sekali.</li></ol> <p><br />Ketiga : <strong>Penyelesaian Perselisihan</strong><br />Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah yang berkedudukan di Indonesia, setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.<br /><br /><br />Keempat : <strong>Penutup</strong><br />Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</p> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 23 Oktober 2002 M / 16 Sya’ban 1423 H</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-30992003777862023702009-09-10T21:44:00.003-07:002009-09-10T22:27:00.744-07:00Sertifikat Wadi'ah Bank Indonesia<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 36/DSN-MUI/X/2002<br />Tentang SERTIFIKAT WADI’AH BANK INDONESIA (SWBI)</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG SERTIFIKAT WADI’AH BANK INDONESIA (SWBI)<br /><br />Pertama :</p> <ol><li>Bank Indonesia selaku bank sentral boleh menerbitkan instrumen moneter berdasarkan prinsip syariah yang dinamakan Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI), yang dapat dimanfaatkan oleh bank syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditasnya.</li><li>Akad yang digunakan untuk instrumen SWBI adalah akad wadi’ah sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro dan Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.</li><li>Dalam SWBI tidak boleh ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak Bank Indonesia.</li><li>SWBI tidak boleh diperjualbelikan.</li></ol> <p><br />Kedua :<br />Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</p> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 23 Oktober 2002 M / 16 Sya’ban 1423 H</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-16322679575102894572009-09-10T21:44:00.001-07:002009-09-10T22:27:00.744-07:00Letter of Credit (LC) Ekspor Syariah<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 35/DSN-MUI/IX/2002<br />Tentang LETTER OF CREDIT (L/C) EKSPOR SYARI’AH</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG LETTER OF CREDIT (L/C) EKSPOR SYARI’AH<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum:</strong></p> <ol><li><em>Letter of Credit</em> (L/C) Ekspor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk memfasilitasi perdagangan ekspor dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.</li><li>L/C Ekspor Syariah dalam pelaksanaannya meng-gunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh, Mudharabah, Musyarakah dan Al-Bai’.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Akad:</strong><br />Akad untuk L/C Ekspor yang sesuai dengan syariah dapat berupa:</p> <ol><li>Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan: <ol><li>Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;</li><li>Bank melakukan penagihan (<em>collection</em>) kepada bank penerbit L/C (<em>issuing</em> <em>bank</em>), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah;</li><li>Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam prosentase.</li></ol> </li><li>Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan: <ol><li>Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;</li><li>Bank melakukan penagihan (<em>collection</em>) kepada bank penerbit L/C (<em>issuing bank</em>);</li><li>Bank memberikan dana talangan (Qardh) kepada nasabah eksportir sebesar harga barang ekspor;</li><li>Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.</li><li>Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai kesepakatan dalam akad.</li><li>Antara akad Wakalah bil Ujrah dan akad Qardh, tidak dibolehkan adanya keterkaitan (<em>ta</em>’<em>alluq</em>).</li></ol> </li><li>Akad Wakalah Bil Ujrah dan Mudharabah dengan ketentuan: <ol><li>Bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir;</li><li>Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;</li><li>Bank melakukan penagihan (<em>collection</em>) kepada bank penerbit L/C (<em>issuing bank</em>).</li><li>Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (<em>at sight</em>) atau pada saat jatuh tempo (<em>usance</em>);</li><li>Pembayaran dari bank penerbit L/C (<em>issuing bank</em>) dapat digunakan untuk: <ul><li>Pembayaran ujrah;</li><li>Pengembalian dana mudharabah;</li><li>Pembayaran bagi hasil.</li></ul> </li><li>Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.</li></ol> </li><li>Akad Musyarakah dengan ketentuan:<br /><ol><li>Bank memberikan kepada eksportir sebagian dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir;</li><li>Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;</li><li>Bank melakukan penagihan (<em>collection</em>) kepada bank penerbit L/C (<em>issuing bank</em>);</li><li>Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (<em>at sight</em>) atau pada saat jatuh tempo (<em>usance</em>);</li><li>Pembayaran dari bank penerbit L/C (<em>issuing bank</em>) dapat digunakan untuk: <ul><li>Pengembalian dana musyarakah;</li><li>Pembayaran bagi hasil.</li></ul> </li></ol> </li><li>Akad Al-Bai’ (Jual-beli) dan Wakalah dengan ketentuan:<br /><ol><li>Bank membeli barang dari eksportir;</li><li>Bank menjual barang kepada importir yang diwakili eksportir;</li><li>Bank membayar kepada eksportir setelah pengiriman barang kepada importir;</li><li>Pembayaran oleh bank penerbit L/C (<em>issuing bank</em>) dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (<em>at sight</em>) atau pada saat jatuh tempo (<em>usance</em>).</li></ol> </li></ol> <p><br /><strong>Ketentuan Penutup</strong> : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagai-mana mestinya.<br /><br />Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 06 Rajab 1423 H / 14 September 2002 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-89753719439807097692009-09-10T21:43:00.002-07:002009-09-10T22:27:00.744-07:00Letter of Credit (LC) Impor Syariah<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 34/DSN-MUI/IX/2002<br />Tentang LETTER OF CREDIT (L/C) IMPOR SYARI’AH</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG LETTER OF CREDIT (L/C) IMPOR SYARI’AH<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum:</strong></p> <ol><li><em>Letter of Credit</em> (L/C) Impor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk kepentingan Importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.</li><li>L/C Impor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh, Murabahah, Salam/Istishna’, Mudharabah, Musyarakah, dan Hawalah.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Akad</strong><br />Akad untuk L/C Impor yang sesuai dengan syariah dapat digunakan beberapa bentuk:</p> <ol><li>Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan: <ol><li>Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor;</li><li>Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;</li><li>Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.</li></ol> </li><li>Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan: <ol><li>Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor;</li><li>Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;</li><li>Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase;</li><li>Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada importir untuk pelunasan pembayaran barang impor.</li></ol> </li><li>Akad Murabahah dengan ketentuan: <ol><li>Bank bertindak selaku pembeli yang mewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi dengan eksportir;</li><li>Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank saat dokumen diterima (<em>at sight</em>) dan/atau tangguh sampai dengan jatuh tempo (<em>usance</em>);</li><li>Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik dengan pembayaran tunai maupun cicilan.</li><li>Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan sebagai harga perolehan barang.</li></ol> </li><li>Akad Salam/Istishna’dan Murabahah, dengan ketentuan: <ol><li>Bank melakukan akad Salam atau Istishna’ dengan mewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi tersebut.</li><li>Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank;</li><li>Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik dengan pembayaran tunai maupun cicilan.</li><li>Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan sebagai harga perolehan barang.</li></ol> </li><li>Akad Wakalah bil Ujrah dan Mudharabah, dengan ketentuan: <ol><li>Nasabah melakukan akad wakalah bil ujrah kepada bank untuk melakukan pengurusan dokumen dan pembayaran.</li><li>Bank dan importir melakukan akad Mudharabah, dimana bank bertindak selaku shahibul mal menyerahkan modal kepada importir sebesar harga barang yang diimpor.</li></ol> </li><li>Akad Musyarakah dengan ketentuan:<br />Bank dan importir melakukan akad Musyarakah, dimana keduanya menyertakan modal untuk melakukan kegiatan impor barang.</li><li>Dalam hal pengiriman barang telah terjadi, sedangkan pembayaran belum dilakukan, akad yang digunakan adalah:<br />Alternatif 1:<br />Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan:<br /><ol><li>Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor;</li><li>Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;</li><li>Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase;</li><li>Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada nasabah untuk pelunasan pembayaran barang impor.</li></ol> Alternatif 2:<br />Wakalah bil Ujrah dan Hawalah dengan ketentuan:<br /><ol><li>Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor;</li><li>Importir dan Bank melakukan akad Wakalah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;</li><li>Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase;</li><li>Hutang kepada eksportir dialihkan oleh importir menjadi hutang kepada Bank dengan meminta bank membayar kepada eksportir senilai barang yang diimpor.</li></ol> </li></ol> <p><br /><strong>Ketentuan Penutup</strong> : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagai-mana mestinya.</p> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 06 Rajab 1423 H / 14 September 2002 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-52044013283660779762009-09-10T21:43:00.001-07:002009-09-10T22:27:00.744-07:00Obligasi Syariah Mudharabah<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 33/DSN-MUI/IX/2002<br />Tentang OBLIGASI SYARI’AH MUDHARABAH</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG OBLIGASI SYARI’AH MUDHARABAH<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum:</strong></p> <ol><li>Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.</li><li>Obligasi Syariah Mudharabah adalah Obligasi Syariah yang berdasarkan akad Mudharabah dengan memperhatikan substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 7/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudha-rabah.</li><li>Emiten dalam Obligasi Syariah Mudharabah adalah Mudharib sedangkan pemegang Obligasi Syariah Mudharabah adalah Shahibul Mal.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Khusus</strong></p> <ol><li>Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Mudharabah adalah akad Mudharabah;</li><li>Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;</li><li>Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;</li><li>Nisbah keuntungan dalam Obligasi Syariah Mudharabah ditentukan sesuai kesepakatan, sebelum emisi (penerbitan) Obligasi Syariah Mudharabah;</li><li>Pembagian pendapatan (hasil) dapat dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan, dengan ketentuan pada saat jatuh tempo diperhitungkan secara keseluruhan;</li><li>Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi Obligasi Syariah Mudharabah dimulai;</li><li>Apabila Emiten (Mudharib) lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas, Mudharib berkewajiban menjamin pengembalian dana Mudharabah, dan Shahibul Mal dapat meminta Mudharib untuk membuat surat pengakuan hutang;</li><li>Apabila Emiten (Mudharib) diketahui lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas kepada pihak lain, pemegang Obligasi Syariah Mudharabah (Shahibul Mal) dapat menarik dana Obligasi Syariah Mudharabah;</li><li>Kepemilikan Obligasi Syariah Mudharabah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.</li></ol> <p><br />Ketiga : <strong>Penyelesaian Perselisihan</strong></p> <ol>Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.</ol> <p><br />Keempat : <strong>Ketentuan Penutup</strong></p> <ol>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</ol> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 06 Rajab 1423 H / 14 September 2002 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-36112446119089047952009-09-10T21:42:00.003-07:002009-09-10T22:27:00.744-07:00Obligasi Syariah<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 32/DSN-MUI/IX/2002<br />Tentang OBLIGASI SYARI’AH</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG OBLIGASI SYARI’AH<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum:</strong></p> <ol><li>Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga;</li><li>Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah;</li><li>Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Khusus</strong></p> <ol><li>Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain: <ol><li>Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh</li><li>Musyarakah</li><li>Murabahah</li><li>Salam</li><li>Istishna</li><li>Ijarah;</li></ol> </li><li>Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memper-hatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;</li><li>Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;</li><li>Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan;</li><li>Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.</li></ol> <p><br />Ketiga : <strong>Penyelesaian Perselisihan</strong></p> <ol>Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.</ol> <p><br />Keempat : <strong>Penutup</strong></p> <ol>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. </ol> <p><br />Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 06 Rajab 1423 H / 14 September 2002 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-77649143321399759192009-09-10T21:42:00.001-07:002009-09-10T22:27:00.744-07:00Pengalihan Hutang<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 31/DSN-MUI/VI/2002<br />Tentang PENGALIHAN HUTANG</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG PENGALIHAN HUTANG<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum:</strong><br />Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:</p> <ol type="a"><li>Pengalihan hutang adalah pemindahan hutang nasabah dari bank/lembaga keuangan konvensional ke bank/lembaga keuangan syariah;</li><li><em>Al-Qardh</em> adalah akad pinjaman dari LKS kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman yang diterimanya kepada LKS pada waktu dan dengan cara pengembalian yang telah disepakati.</li><li>Nasabah adalah (calon) nasabah LKS yang mempunyai kredit (hutang) kepada Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) untuk pembelian asset, yang ingin mengalihkan hutangnya ke LKS.</li><li>Aset adalah aset nasabah yang dibelinya melalui kredit dari LKK dan belum lunas pembayan kreditnya.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Akad</strong><br />Akad dapat dilakukan melalui empat alternatif berikut:</p> <ol><li><strong>Alternatif I</strong> <ol><li>LKS memberikan <em>qardh</em> kepada nasabah. Dengan <em>qardh</em> tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh (الملك التام).</li><li>Nasabah menjual aset dimaksud angka <strong>1</strong> kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi <em>qardh</em>-nya kepada LKS.</li><li>LKS menjual secara <em>murabahah</em> aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.</li><li>Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud <strong>alternatif I</strong> ini.</li></ol> </li><li><strong>Alternatif II</strong> <ol><li>LKS membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK; sehingga dengan demikian, terjadilah <em>syirkah al-milk</em> antara LKS dan nasabah terhadap asset tersebut.</li><li>Bagian asset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud angka 1 adalah bagian asset yang senilai dengan hutang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.</li><li>LKS menjual secara <em>murabahah</em> bagian asset yang menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.</li><li>Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud dalam <strong>alternatif II</strong> ini.</li></ol> </li><li><strong>Alternatif III</strong> <ol><li>Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh (الملك التام) atas aset, nasabah dapat melakukan akad Ijarah dengan LKS, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor 09/DSN-MUI/IV/2002.</li><li>Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah dengan menggunakan prinsip <em>al-Qardh</em> sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.</li><li>Akad <em>Ijarah</em> sebagaimana dimaksudkan angka <strong>1</strong> tidak boleh dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan sebagaimana dimaksudkan angka <strong>2</strong>.</li><li>Besar imbalan jasa Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka <strong>1</strong> tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah sebagaimana dimaksudkan angka <strong>2</strong></li></ol> </li><li><strong>Alternatif IV</strong> <ol><li>LKS memberikan <em>qardh</em> kepada nasabah. Dengan <em>qardh</em> tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh (الملك التام).</li><li>Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi <em>qardh</em>-nya kepada LKS.</li><li>LKS menyewakan asset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan akad <em>al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik</em>.</li><li>Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud dalam <strong>alternatif IV</strong> ini.</li></ol> </li></ol> <p><br />Ketiga : <strong>Ketentuan Penutup</strong></p> <ol><li>Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.</li><li>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</li></ol> <p><br />Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 15 Rabi’ul Akhir 1423 H / 26 Juni 2002 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-14879860138725683292009-09-10T21:41:00.001-07:002009-09-10T22:27:00.745-07:00Pembiayaan Rekening Koran Syariah<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 30/DSN-MUI/VI/2002<br />Tentang PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARI’AH</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARI’AH<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum:<br /></strong> Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:</p> <ol type="a"><li><em>Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS)</em> adalah suatu bentuk pembiayaan rekening koran yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah;</li><li><em>Wa’d</em> (الوعد) adalah kesepakatan atau janji dari satu pihak (LKS) kepada pihak lain (nasabah) untuk melaksanakan sesuatu;</li><li><em>Wakalah</em> adalah pelimpahan kekuasaan dari satu pihak (LKS) kepada pihak lain (nasabah) untuk melakukan akad (transaksi) tertentu yang diperlukan oleh nasabah;</li><li><em>Akad</em> adalah transaksi atau perjanjian syar’i yang menimbulkan hak dan kewajiban.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Akad</strong></p> <ol><li>Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) dilakukan dengan wa’d untuk wakalah dalam melakukan:<br /><ol type="a"><li>pembelian barang yang diperlukan oleh nasabah dan menjualnya secara murabahah kepada nasabah tersebut; atau</li><li>menyewa (<em>ijarah</em>)/mengupah barang/jasa yang diperlukan oleh nasabah dan menyewakannya lagi kepada nasabah tersebut.</li></ol> </li><li>Besar keuntungan (<em>ribh</em>) yang diminta oleh LKS dalam angka <strong>1</strong> huruf <strong>a</strong> dan besar sewa dalam ijarah kepada nasabah sebagaimana dimaksud dalam angka <strong>1</strong> huruf <strong>b</strong> harus disepakati ketika <em>wa’d </em>dilakukan.</li><li>Transaksi <em>murabahah</em> kepada nasabah sebagaimana dimaksud dalam angka <strong>1</strong> huruf <strong>a</strong> dan <em>ijarah</em> kepada nasabah sebagaimana dimaksud dalam angka <strong>1</strong> huruf <strong>b</strong> harus dilakukan dengan akad.</li><li>Fatwa DSN nomor: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah, Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, dan Fatwa DSN nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Ijarah berlaku pula dalam pelaksanaan <em>Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS)</em> sebagaimana dimaksud dalam angka <strong>1, 2, </strong>dan<strong> 3</strong>.</li><li>Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) dapat dilakukan pula dengan wa’d untuk memberikan fasilitas pinjaman al-Qardh.</li><li>Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) sebagaimana dimaksud dalam angka <strong>5</strong>.</li><li>Dalam menggunakan transaksi Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) sebagaimana dimaksud angka<strong> 1, 2, </strong>dan<strong> 3</strong>, penarikan dana tidak boleh dilakukan secara langsung oleh nasabah.</li></ol> <p><br />Ketiga : <strong>Ketentuan Penutup</strong></p> <ol><li>Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.</li><li>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</li></ol> <p><br />Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 15 Rabi’ul Akhir 1423 H / 26 Juni 2002 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-22628929602422428942009-09-10T21:40:00.002-07:002009-09-10T22:27:00.745-07:00Pembiayaan Pengurusan Haji LKS<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 29/DSN-MUI/VI/2002<br />Tentang PEMBIAYAAN PENGURUSAN HAJI LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN PENGURUSAN HAJI LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum:</strong></p> <ol><li>Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (<em>ujrah</em>) dengan menggunakan prinsip <em>al-Ijarah</em> sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.</li><li>Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip <em>al-Qardh</em> sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.</li><li>Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.</li><li>Besar imbalan jasa <em>al-Ijarah</em> tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan <em>al-Qardh</em> yang diberikan LKS kepada nasabah.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Ketentuan Penutup</strong></p> <ol type="a"><li>Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.</li><li>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</li></ol> <p><br />Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 15 Rabi’ul Akhir 1423 H / 26 Juni 2002 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6369660599801513647.post-26233357290500214152009-09-10T21:40:00.001-07:002009-09-10T22:27:00.745-07:00Jual Beli Mata Uang<div style="font-family: arial;" id="detail_news_text" class=""> <p align="center"><span style="color: rgb(51, 153, 102);"><strong>FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL<br />NO: 28/DSN-MUI/III/2002<br />Tentang JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF)</strong></span></p> <p>Menimbang :<br />Mengingat :<br />Memperhatikan :<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF)<br /><br />Pertama : <strong>Ketentuan Umum:<br /></strong> Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:</p> <ol><li>Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)</li><li>Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)</li><li>Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (<em>at-taqabudh</em>).</li><li>Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.</li></ol> <p><br />Kedua : <strong>Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing</strong></p> <ol><li>Transaksi <strong>Spot</strong>, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (<em>over the counter</em>) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah <strong>boleh</strong>, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari (ِمَّما لاَ ُبَّد مِنْهُ) dan merupakan transaksi internasional.</li><li>Transaksi <strong>Forward</strong>, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah <strong>haram</strong>, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (<em>muwa'adah</em>) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (<em>lil</em> <em>hajah</em>).</li><li>Transaksi <strong>Swap</strong>, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur <em>maisir</em> (spekulasi).</li><li>Transaksi <strong>Option</strong>, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur <em>maisir</em> (spekulasi).</li></ol> <p><br />Ketiga :</p> <ol>Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.</ol> <p>Ditetapkan di : Jakarta<br />Tanggal : 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M</p> </div>Galih Gumelar Centerhttp://www.blogger.com/profile/05372913516712464378noreply@blogger.com0